Selamat Tahun Baru 2021!

Gerakan Muda Aboru wenst u een strijdbaar, voorspoedig en gezond 2021!

Jangan pernah menyerah dan temukanlah ribuan alasan untuk tetap berjuang menyambut awal yang baru, dan jangan lupa untuk menjadikan Katong pung hidop lebih bermakna dan bermanfaat di tahun ini. Katong dari Gerakan Muda Aboru mengucapkan Selamat Tahun Baru 2021 par Basudara Bangsa Maluku yang berada di teritorial Tanah Air Maluku dan dimana pun berada Melanesia.

Mena Muria!


Nieuwe flessenactie Free Maluku Foundation (9 januari 2021)

De medestrijders van Free Maluku Foundation sluiten het jaar knallend af met een aankondiging van een nieuwe flessenactie! Deze zal 9 januari 2021 plaatsvinden.

We zijn dankbaar dat FMF wederom een deel van de opbrengst aan GMA zal schenken, zodat wij de strijd op Maluku verder kunnen ondersteunen.

Als je je op wilt geven, doe dit dan voor 3 januari 2021 via het volgende emailadres: info [at] freemalukufoundation [dot] org.

Check ook de FMF site voor verdere details: https://www.freemalukufoundation.org/

Mena Muria!


4 december een verdrietige dag voor het Molukse volk

Vandaag 4 december staan we stil bij de dood van onze vrijheidsstrijder wijlen bp. Yoyo Teterissa (31 december 1962 in Aboru, Zuid- Molukken).

Teterissa was de leider van de welbekende Tjakalele-actie d.d. 29 juni 2007 in Ambon (Zuid-Molukken), waarbij hij voor de ogen van honderden toeschouwers en de Indondesische president op vreedzame wijze de RMS-vlag toonde. Als gevolg van deze actie onderging Teterissa ernstige martelingen en een gevangenisstraf van maar liefst 11,5 jaar.

Ook na zijn vrijlating bleef Teterissa - als leider van de Pusat van de perdjuangan (centrum van verzet) - de strijd voor een vrij- en onafhankelijke Zuid-Molukse Republiek voortzetten. Teterissa heeft daarmee laten zien dat het RMS-ideaal op Tanah Air springlevend is! GMA kijkt hier dan ook met trots maar vooral met veel respect op terug.

Het motto van Teterissa was:
“Berjuang mati,
Seng berjuang mati
Jadi berjuang sampe mati!”

Helaas overleed Teterissa nog geen jaar na zijn vrijlating onverwachts op 4 december 2019 in zijn geboortedorp Aboru.

De RMS-strijd op Tanah Air gaat door!

Mena Muria!


Permainan baru sudah dimulai diciptakan

Teror Bagi Papua Dan Stigma Bagi Negeri Aboru !!!

Dari berbagai pemberitaan tentang kasus Teror & Intimidasi Terhadap Mahasiswa Papua & Solidaritas Maluku di Honai Papua - Ambon, setidaknya ada 3 media online yang menuliskan narasi yang berasal dari wawancara dengan Kasubbag Humas Polresta Ambon, Pejabat Kepala Desa Wayame dan Ketua RT setempat. Dalam ketiga narasi pemberitaan tersebut, dikronologogikan bahwa awal terjadinya adu argumentasi mereka dengan Mahasiwa Papua di Asrama Honai yang berujung teror, intimidasi dan penyerangan adalah dikarenakan kecurigaan mereka terhadap kedatangan "warga asing" yang "diindikasikan" adalah warga Negeri Aboru, Kec. Pulau Haruku, Kab. Maluku Tengah. Nah… jika sampai di bagian ini anda membaca pemberitaan tersebut dengan konstruksi berpikir logis, maka mungkin akan muncul di benak anda pertanyaan-pertanyaan seperti yang kami punya di bawah ini;

1. Darimana seseorang dapat "diindikasikan" sebagai Orang/Warga Negeri Aboru? Apakah dari segi fisik, gerak tubuh, atau kebiasaan-kebiasaan lainnya? Jika "Ya", ini bisa dikatakan "Racial Profiling" atau lebih mudahnya disebut tindakan rasisme.

2. Alibi dugaan para pelaku teror dan intimidasi terhadap kawan-kawan di Honai Papua - Ambon ini, tidak ada satupun yang dapat dibuktikan pada malam itu… Termasuk soal kedatangan Warga Aboru di Asrama Honai. Tapi yang jadi soal, kalaupun ada "Orang Aboru" yang datang mengunjungi Honai malam itu, apa alasan bahwa orang itu "harus dicurigai" dan dilacak keberadaannya sampai timbul kegaduhan?! Sudah jadi tindak pidana-kah menjadi seorang Aboru yang mengunjungi Asrama Papua?!?! Apa yang ditakuti dari pertemuan "Orang Aboru" dan "Orang Papua"?!?!?! Apapun jawaban atas pertanyaan-pertanyaan poin ini, pastilah berujung pada stigmatisasi terhadap Orang Aboru.

Lalu… Apa yang jadi masalah di titik ini? Kita mungkin bisa mulai menanyakan dari para warga sipil yang turut serta melakukan aksi teror dan intimidasi malam itu. Apa yang jadi pola pikir mereka yang rasis dan menstigma Orang Aboru dan Papua tersebut? Apa latar belakang pola pikir dan tindakan itu? Dari mana awal munculnya sikap rasis itu? Apakah ada yang mensuplai mis-informasi dan doktrin itu? Siapa mereka?? Lalu... tidak bisakah Orang Aboru kita pandang tanpa tendensi, apriori ataupun stigma apa-apa, selayaknya pandangan kita kepada Manusia Maluku dan manusia lainnya di muka bumi ini? Atau jangan-jangan katong masih sering rasis par dorang yang selalu katong panggil "Orang Basudara"?

https://www.youtube.com/watch?app=desktop&feature=youtu.be&v=mi3yQKCPQJ8


Maluku mendukung perjuangan Papua Barat

Amboina, Maluku Selatan, 01 Desember 2020.

Pada tanggal 1 Desember 1961, hak rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri akhirnya diakui oleh dunia. Kepada seluruh rakyat West Papua, dari Sorong sampai Samarai, dari seantero Melanesia dan dari seluruh dunia.

Sehingga dihari ini, tanggal 01 Desember 2020, untuk pertama kalinya Bendera Bintang Kejora berkibar di Kota Ambon Maluku, dalam memperingati hari embrio politik yang ke 59 tahun. Bendera Bintang Kejora dikibarkan di kota Ambon di lokasi Jembatan Merah Putih (Marthafons)

Pengibaran bendera Bintang Kejora ini menarik perhatian warga sekitar, sehingga anggota polisi datang untuk menurunkannya.

Pengibaran Bendera Bintang Kejora di Kota Ambon, Maluku ini adalah bukti rasa solidaritas dari pemuda Republik Maluku Selatan di Maluku terhadap bangsa negara Papua Barat, dalam spirit Melanesia bersatu, agar supaya Bangsa Papua dan Maluku tetap semangat untuk secara bersama melawan kolonial Republik Indonesia. Dalam hal ini kami dari Tanah Air Maluku salut kepada basudara Gerakan Muda Aboru atas kerjasama yang baik sehingga bendera Bintang Kejora dapat dikibarkan di bumi Amboina.

Dan hari ini juga, di wilayah Papua Melanesia, secara damai melakukan orasi politik sebagai akhir dari Otonomi Khusus, dan harus bersiap untuk mengambil alih negara West Papua kembali yang selama ini dianeksasi oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga hukum-hukum yang datang dari Jakarta tidak berlaku untuk Bangsa Papua.

Kepada semua kelompok solidaritas internasional, marilah kita bersolidaritas dengan Bangsa Papua untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora di mana pun kalian berada. Aksi solidaritas serentak dilakukan, dan bagikan di media sosial.

Bulan-bulan terakhir penuh dengan penderitaan bagi rakyat West Papua. Mereka dibunuh dan dihabisi secara sistematis oleh tentara Indonesia. Tokoh-tokoh keagamaan mereka, seperti Pendeta Yeremia Zanambani dan Rufinus Tigau, seorang Katekis dari Gereja Katolik, disiksa dan dibunuh. Seorang perempuan berumur 19 tahun, Dimisi Balingga, dibunuh oleh tentara Indonesia di Sentani pada tanggal 4 November. Mahasiswa-mahasiswa West Papua banyak yang ditahan dan dibrutalisasi, hanya karena mereka mengadakan demonstrasi kecil-kecilan. Rakyat Papua tidak aman di bawah penjajahan Indonesia.

Perjuangan panjang rakyat Papua mencetak banyak tanggal-tanggal bersejarah: 1 Juli 1971, 14 Desember 1988, 27 November 1997, Kongres Rakyat Papua Kedua pada tahun 2000, Kongres Rakyat Papua Ketiga pada tahun 2011, dan Deklarasi Saralana pada tahun 2014. Indonesia sadar bahwa tanggal ini adalah tanggal penting bagi Bangsa Papua dan untuk masa depan West Papua.

Bangsa Papua sudah mengumumkan suatu Undang – Undang Dasar Sementara untuk West Papua. Ini adalah langkah yang penting, tapi Bangsa Papua harus terus melangkah maju. Rakyat West Papua harus siap. Sudah saatnya Bangsa Papua menunjukkan kepada Indonesia dan seluruh dunia bahwa Bangsa Papua serius, dan siap mengambil kembali kemerdekaan negaranya.

Free West Papua
Free Republik Maluku Selatan

Mena Muria!


De vlag van West-Papua wappert op Maluku

Amboina, Maluku Selatan, 01 december 2020.

Op 1 december 1961 werd het zelfbeschikkingsrecht van de Papua's wereldwijd erkend, door geheel West-Papua, van Sorong tot Samarai, heel Melanesië als ook alle andere delen van de wereld. Ter herdenking hiervan wappert vandaag de dag 1 december 2020 ook in Ambon-Stad de Morgenster vlag.

Een aantal jongeren die zich doorgaans vreedzaam inzetten voor een onafhankelijke Zuid-Molukse Republiek, hebben uit solidariteit met West-Papua op Jembatan Merah putih (Marthafons) in Ambon-Stad de Morgenster vlag gehesen. Deze vreedzame actie staat in het teken van een gezamenlijke strijd tegen de onderdrukker Republiek Indonesië (RI). Het hijsen van de Morgenster vlag trok uiteraard alle aandacht van de lokale bevolking en gaf de autoriteiten vervolgens aanleiding om de vlaggen neer te halen. GMA spreekt haar trots en dank uit voor de goede samenwerking om deze vreedzame vlaggenactie te kunnen realiseren.

De afgelopen maanden hebben de mensen van West-Papua veel leed gebracht. De onrechtmatige bezetting door de RI heeft vele mensenlevens gekost. Zo werden onder andere religieuze figuren, zoals pastoor Yeremia Zanambani en Rufinus Tigau, een catechist van de katholieke kerk, gemarteld en vermoord. Op 4 november werd in Sentani ook een 19-jarige vrouw, Dimisi Balingga, vermoord door Indonesische soldaten. Veel West Papoea-studenten werden gearresteerd en verbannen, simpelweg omdat ze kleine demonstraties hielden. De West-Papua natie kent een lange strijd met vele historische data: 1 juli 1971, 14 december 1988, 27 november 1997, het Tweede Papua Volkscongres in 2000, het Derde Papua Volkscongres in 2011 en de Saralana-verklaring in 2014. Gelet hierop is Indonesië zich er dan ook goed van bewust dat ook deze datum een belangrijke datum is voor de Papua-natie en voor de toekomst van West-Papua.

Onlangs is een voorlopige grondwet voor West-Papua aangekondigd. Vandaag zullen in de regio Melanesisch Papua vreedzame politieke toespraken worden gehouden met de focus op de gevolgen van de onrechtmatige annexatie door de eenheidsstaat Republiek Indonesië en daarnaast de bereidheid van de Papua's om de onafhankelijkheid van hun eigen land op te eisen. De mensen op West-Papua zijn klaar om de strijd voort te zetten!

Het verzoek aan alle internationale solidariteitsgroepen is om eensgezind solidair te zijn met de broeders en zusters van West-Papua en dit te tonen door vandaag de Morgenster vlag te hijsen. Op deze manier laten we zowel aan Indonesië als de rest van de wereld zien dat de strijd van de Republiek van West-Papua een serieuze zaak betreft!

Free West Papua
Free Republik Maluku Selatan

Mena Muria!


Terugblik Tjakalele actie 2007

Op 29 juni 2007 vond tijdens de Harganas-viering op “het Vrijheidsplein” in Ambon (Zuid-Molukken) de moedige Tjakalele-actie plaats waarbij een groep van 27 dansers tijdens het opvoeren van de Tjakalele (een traditioneel Moluks krijgsdans) de RMS-vlag toonden aan toenmalig Indonesische president Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) en zijn 3.887 genodigden (waaronder Indonesische ministers, ambassadeurs, gouverneurs, regenten en burgemeesters).

De groep Tjakalele-dansers, waarvan Johan Teterissa de leider was, bestond geheel uit Aborunezen, namelijk:
1. Fredy Akihary;
2. Leonard Hendriks;
3. Samuel Hendriks;
4. Alex Malawauw;
5. Philip Malawau;
6. Selfianus Malawau;
7. Ferdinand Radjawane;
8. Jeky Riry;
9. Mersy Riry;
10. Abraham Saya;
11. Arens Saya;
12. Vernon Saya;
13. Jefri Saya;
14. Johan Saya;
15. Johanis Saya;
16. Johanis Saya;
17. Jordan Saya;
18. Bobby Saya;
19. Pieter Saya;
20. Pieter Saya;
21. Ruben Saya;
22. Elias Sinay;
23. Jhony Sinay;
24. Josias Sinay;
25. Melky Sinay;
26. Johan Teterissa (leider Tjakalele-actie), en
27. Albert Usmany.

Meteen na het tonen van de RMS-vlag werden alle Tjakalele-dansers hardhandig gearresteerd. Op het politiebureau werden de Tjakalele-dansers door politieagenten vernederd en geslagen. Opvallend hierbij is dat Johan Teterissa op het politiebureau ook door een aanwezige Indonesische journalist werd geslagen.

De Tjakalele-dansers werden vervolgens voor minstens 10 jaar in de gevangenis gezet en Johan Teterissa kreeg als leider van deze Tjakalele-actie aanvankelijk zelfs levenslang.

Later werden diegenen die betrokken waren bij de voorbereiding van de Tjakalele-actie ook gearresteerd. In de gevangenis zijn alle dansers op ernstige wijze gemarteld door Indonesië.

De gevangenen werden onder andere:
- hardhandig van de trap geduwd;
- met ijzeren staven en kabels geslagen;
- geprikt en geslagen met geweren;
- bedreigd door een granaat in hun mond te stoppen;
- gedwongen om na de martelingen de zee in te gaan, zodat het zoute water hun verse wonden nog pijnlijker zou maken.

Op 21 juni 2008 vond de eerste Molukse mensenrechtenconferentie plaats in De Balie te Amsterdam, georganiseerd door Molukse mensenrechtenorganisatie PAK en de RMS-regering in ballingschap.
Twee gasten werden speciaal voor deze mensenrechtenconferentie uitgenodigd, namelijk mensenrechtenadvocaat Johnson Panjaitan uit Jakarta (Indonesië) en tante An Saya uit Aboru (Zuid-Molukken).

Mensenrechtenadvocaat Johnson Panjaitan die in het verleden Xanana Gusmao (leider Oost-Timor) heeft verdedigd, vertelde hoe hij Johan Teterissa verdedigde.

Tante An Saya, ooggetuige en moeder van één van de Tjakalele-dansers, verklaarde dat – toen ze haar zoon in de gevangenis bezocht – ze hem niet meer kon herkennen. De Indonesische overheid had haar zoon namelijk gemarteld door een biljartbal in zijn mond te plaatsen, waarna hij herhaaldelijk in zijn gezicht en op zijn mond werd geslagen. Tante An sloot haar getuigenverklaring in tranen af met de mededeling dat ze haar zoon zelf nog nooit heeft geslagen, maar lijdzaam moest toezien hoe haar zoon door de martelingen onherkenbaar voor haar werd.

Enkel en alleen door de getuigenverklaring van tante An Saya en de getoonde filmpjes over de mensenrechtenschendingen op Maluku besloten de eveneens aanwezige mensenrechtenorganisaties Amnesty International en Human Rights Watch zich eindelijk in te zetten tegen de mensenrechtenschendingen op Maluku.

Vlak na voornoemde Molukse mensenrechtenconferentie werd plotseling – zonder proces - de gevangenisstraf van Johan Teterissa verlaagd van levenslang naar 15 jaar.

Op 9 maart 2009 werden de Molukse Politieke Gevangenen plotseling overgeplaatst van gevangenissen op het eiland Ambon (Zuid-Molukken) naar gevangenissen op het eiland Java (Indonesië), waaronder het streng bewaakte gevangeniseiland Nusa Kembangan, beter bekend als “het Alcatraz van Indonesië”.

De mensenrechten van de Molukse Politieke Gevangenen op Java (Indonesië) werden extra geschonden, omdat hun familieleden uit onder andere Aboru, Ambon, Tanimbar en Kei (Zuid-Molukken) hen niet konden bezoeken vanwege de grote afstand (3 uur vliegen, vergelijkbaar met de afstand tussen Amsterdam-Athene) en omdat ze over onvoldoende financiële middelen beschikten om vliegtickets te kopen.

Op 10 augustus 2018 werden de Molukse Politieke Gevangenen na negen jaar eindelijk terug overgebracht van gevangeniseiland Nusa Kembangan (Java, Indonesië) naar gevangenis Nania (Ambon, Zuid-Molukken).

Op 26 december 2018 (Tweede Kerstdag) werden Johan Teterissa en Jeki Riry na 11,5 jaar gevangenschap eindelijk vrijgelaten.

Op 4 december 2019 is Johan Teterissa helaas onverwachts in Aboru overleden.

Op 17 augustus 2020 zijn na 13 jaar gevangenschap eindelijk de laatste drie overgebleven Molukse Politieke Gevangenen, die aan de vreedzame Tjakalele-actie hebben meegedaan, vrijgelaten, namelijk: Romanus Batseran, Jordan Saya en Yohanis Saya.


GMA website staat online!

Beste medestrijders voor een vrij Maluku, de GMA website staat online! Na een soft launch in juni hebben we de website verder geoptimaliseerd en is deze nu live gegaan voor het grote publiek!

Middels onze website zullen wij jullie informeren over de actuele stand van zaken met betrekking tot de perdjuangan en hoe jullie hieraan kunnen bijdragen. Raadpleeg onze website dan ook regelmatig voor de laatste updates en nieuwsitems omtrent de strijd en lopende acties en initiatieven.

Check ook onze socials:
Instagram Gerakan Muda Aboru
Facebook Gerakan Muda Aboru

Mena Muria!